Makalah
HAKIKAT
FITRAH MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
(
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam )
Dosen
Pengampu : Firmansyah Kobandaha
Disusun
oleh :Kelompok 10
RAHMAT
S BUMULO
RESITA
MAMONTO
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
IAIN
SULTAN AMAI GORONTALO
2016
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah
SWT, yang telah memberikan berlimpah nikmat berupa kesehatan jasmani maupun
rohani kepada Kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai
selesai. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW.
Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah
semata-mata hasil jerih payah kami sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak.
Untuk itu, Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu Kami dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang
setimpal dan menjadikan amal sholeh bagi semua pihak yang telah turut
berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin Ya Rabbal’alamin.
Gorontalo, 09 Desember 2016
Kelompok 10
Daftar Isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
Bab 1
Pendahuluan...........................................................................................................
A.
Latar belakang.........................................................................................................
B.
Rumusan masalah....................................................................................................
Bab 2
Pembahasan............................................................................................................
A.
Hakikat Fitrah Manusia...........................................................................................
B.
Konsep fitrah dalam Al-Qur’an...............................................................................
C.
Konsep Fitrah dalam As-Sunnah.............................................................................
D.
Fitrah Manusia.........................................................................................................
E.
Macam-macam Fitrah..............................................................................................
Bab 3 Penutup...................................................................................................................
Kesimpulan..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Allah
menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni
potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun
tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta
satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia
lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi.
Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya
untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia
merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai
khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas
tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya.
Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.[1]
Dalam
pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang
berhubungan dengan hakikat fitrah dan potensi manusia menurut islam. Pertama
penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang mencakup
bagian-bagiannya, hakekat fitrah manusia, komponen dasar fitrah macam-macam
fitrah, potensi manusia dan fitrah sebagai inner potensial
Semoga
dengan adanya penjelasan tersebut kita menjadi paham tentang fitrah dan potensi
manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi penulis sendiri dan orang yang
membacanya agar menambah pemahaman dan hakekat fitrah dan potensi dasar
manusia, berikut penjelasannya
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
Hakikat fitrah manusia
2.
Bagaimana
Konsep fitrah dalam Al-Qur’an
3.
Bagaimana
Konsep Fitrah dalam As-Sunnah
4.
Apakah
Fitrah manusia
5.
Macam
– macam fitrah manusia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat Fitrah Manusia
Secara etimologis, kata fitrah berasal dari bahasa Arab,
yaitu fithrah(فطرة) jamaknya fithar ( فطر), yang suka
diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Menurut M.
Quraish Shihab (1996:283), istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr
yang berarti belahan. Dari makna ini kemudian makna – makna lain, antara lain
yaitu pencipta atau kejadian.
Dalam gramatika bahasa Arab, sebagaimana dikatakan oleh Murtadha
Muthari, kata fitrah sewazan dengan kata fi’lah, yang artinya al-ibtidah,
yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi’lah dan fitrah adalah bentuk masdar
(infinitif) yang menunjukan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn
al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fihir artinya menciptakan, maka fitrah
berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab
Lafadzh fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya,
selain yang berkaitan dengan manusia.
Dalam kamus al-munawwir, menyebutkan bahwa kata fitrah
diartikan dengan naluri atau pembawaan. Kemudian Mahmud Yunus mengatakan, kata
fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli. Selanjutnya
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Departemen Penddikan Nasional
disebutkan kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan
keagamaan.
Fitrah manusia berbeda
dengan watak atau tabi’at, juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak
atau tabi’at adalah sifat dasar, seperti kalimat oksogen adalah mudah terbakar.
Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri daripada bentuk, dan materi (maddah).
Inilah yang merupakan watak atau tabi’at suatu benda. Sedangkan naluri/garizah
adalah sifat dasar. Sifat dasar ini bukan Muktasabah (bukan diperoleh).
Misalnya anak kuda begitu lahir langsung bisa berdiri. Semut, meskipun kecil namun
mampu mengumpulkan makanan. Inilah yang disebut dengan naluri atau garizah.
Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang fitrah ini
disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi’at) dan naluri ini
juga bukan diperoleh melalui usaha (al-muktasabah). Bukan pula karena khudhuri
(perolehan). Istilah fitrah lazimnya untuk manusia, naluri lazimnya untuk
hewan, dan watak lazimnnya untuk benda.[2]
Sedangkan dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa
pengertian fitrah yang dikemukakan oleh para ahli. Masing – masing pengertian
yang dikemukakan memiliki sudut pandang yang berbeda – beda. Misalnya
pengertian yang dikemukakan oleh Raghib al-Ashfahani dalam “Mu’jam
al-Mufradat li al-fadz al-Quran,” fitrah adalah mewujudkan atau mengadakan
sesuatu menurut kondisinya yang dipersiapkan untuk melakukan perbuatan
tertentu. Pengertian yang dikemukakan oleh al-ashfahani ini masih bersifat
umum, karena ia mengemukakan fitrah sebagai sesuatu, sedangkan sesuatu itu
masih bersifat umum. Sesuatu itu bisa bermakna disposisi (al-isti’dad),
karakter (al-thab’u), sifat (al-sifat), atau konstitusi (al-jibillat).
Kemudian fitrah juga dikatakan dipersiapkan untuk melakukan perbuatan tertentu.
Perbuatan ini juga masih bersifat umum, entah berupa berpikir, berbuat atau
berperasaan, semuanya masih bersifat umum dan belum jelas. Oleh karenanya perlu
dicarikan pengertian lain.
Ibn Mandzur (tt:288) memberikan defenisi bahwa fitrah adalah
kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama. Dalam
pengertian yang diungkapakan oleh Ibn Manndzur ini fitrah dianggap sebagai
suatu kondisi, konstitusin dan watak manusia. Pengertian ini keliatannya
membatasi pengertian pertama. Kosntitusi manusia memliki watak pisik dan
psikis. Demikian juga dengan watak manusia memiliki kondisi baik dan buruk.
Kondisi ini telah ada sejak kejadiannya manusia. Tujuan konstitusi dan watak
manusia ini adalah agar manusia mampu menerima agama. Sedang agama yang sesuai
dengan fitrah manusia adalah al-islam. Maka demikian setiap manusia yang
dilahirkan memiliki potensi untuk menerima agama.
Dari beberapa defenisi yang dikemukakan diatas, baik etimologi,
terminology, maupun nasabi, dapat ditarik kesimpulan bahwa fitrah adalah
wujud organisasi dinamis, yang terdapat dalam diri manusia dan terdiri dari
system psikopisik yang dapat menimbulkan tingkah laku. System tersebut memiliki
citra yang unik (misalnya al-islam) yeang telah ada sejak awal penciptaannya. Rumusan
tersebut memiliki tiga elemen pokok, yaitu :
1.
Fitrah
merupakan suatu organisasi dinamis yang ada pada diri manusia. Dikatakan
demikian karena dalam diri manusia terdiri atas system – system psikofisik yang
dapat menimbulkan tingkah laku, baik lahir maupun batin. Diakatakan dinamis,
Karena fitrah yang potensial dapat berkembang untuk mencapai kesempurnaan
hidupnya.
2.
Fitrah
memiliki suatu citra esensi manusia ini bersifat unik melebih mahluk – mahluk
lain, seperti fitrah berislam, berbudaya, dan lain – lain.
3.
Fitrah
manusia memiliki dasar, watak, sifat dan cara kerja yang khas, semuanya masih
bersifat potensial yang diaktualisasikan menurut kondisi aslinya.
B.
Konsep Fitrah Dalam Al-Qur’an
Menurut Muhammad Fuad Abdul
Baqi, dalam “Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an, “dalam al-Qur’an
kita dapat menemukan istilah fitrah sebanyak 20 kali, kata-kata tersebut
terdapat dalam 17 surat dan dalam 19 ayat.[3]
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang fitrah
hanya satu ayat yang secara sarih menyebutkan kata fitrah, yakni surat Ar-Rum :
30. Allah Swt, berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Al-Qurthubi ketika menafisrkan ayat tersebut mengatakan bahwa
fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah disini adalah
fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir
dalam keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa. Sementara Ibnu Katsir
mengartikan Fitrah dengan mengakui ke Esa-an Allah atau Tauhid. Hal ini
sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa manusia sejak lahir telah
membawa tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk meng-Esa-kan
Tuhannya, dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.
Fitrah juga dapat berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk
mengabdi dan berma’rifat kepada Allah Swt. Makna fitrah seperti ini kebanyakan
diungkapkan oleh para filosof aliran empirisme memandang bahwa aktivitas fitrah
sebagai tolok ukur pemaknaannya. Sedangkan para fuqaha memandang haliah manusia
merupakan cermin dari jiwannya, sehingga hokum diterapkan menurut apa yang terlihat,
bukan dari hakikat di balik perbuatan tersebut. Pada sisi lain, fitrah juga
bisa berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan
kesesatannya. Pendapat ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abbas, Ka’ab bin
Qurodi, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad bin Hanbal. Mereka mengatakan bahwa
manusia lahir dengan ketetapannya, apakah ia nanti menjadi orang yang bahagia
ataukah menjadiorang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang
diperoleh sejak manusia lahir. Ketetapan manusia selanjutnya disebut dengan
fitrah, yang tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi eksogen apa pun termasuk
proses pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan
selalu baik walaupun pada awal perbuatannya sesat. demikian juga sebaliknya,
apabila ketetapan asalnya sesat, ia akan menjadi orang yang sesat walaupun ia
beraktivitas seperti orang baik (al-Qurthubi, tt: 5108).
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zainuddin (1991:66) mengartikan
bahwa fitrah merupakan dasar bagi manusia yang diperolehnya sejak lahir dengan
memliki keistimewaan-keistimewaan sbb:[4]
1.
Beriman
kepada Allah Swt;
2.
Kemampuan
dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk
menerima pendidikan dan pengajaran;
3.
Dorongan
ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berujud daya untuk berpikir
4.
Dorongan
biologis yang berupa syahwat, nafsu, dan tabiat.
5.
Kekuatan-kekuatan
lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa makna fitrah dalam pandangan para mufasir itu bermacam-macam. Namun, dari
sekian banyak pendapat sebagimana tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan,
bahwa yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah potensi untuk menjadi baik dan
sekaligus potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Potensi
tersebut tidak diubah. Maksudnya, potensi untuk menjadi baik ataupun menjadi
buruk tersebut tidak akan diubah oleh Allah. Fitrah manusia ini dibawa sejak
lahir dan terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin berkembangnya
akal manusia dan pada akhirnya manusia akan mengakui bahwa Tuhan itu ada
sehingga mereka akan kembali kepada Tuhannya.
Oleh karena itu, di sinilah betapa pentingnya mempertahankan fitrah
dan sekaligus mengembangkannya bagi kehidupan manusia yang lebih baik.
Berkembangnya fitrah dalam diri manusia sangat tergantung pada masukan dari
wahyu yang mempengaruhi jiwa manusia. Dalam hal ini, baik buruknya fitrah
manusia akan tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri dalam berinteraksi
dengan ajaran Islam.
C.
Konsep Fitrah dalam As-Sunnah
Tidak jauh berbeda dengan pengertian fitrah manusia menurut
al-Qur’an, maka pengertian fitrah menurut al-sunnah tidak lepas dari pemikiran
terhadap al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30. Dari ayat tersebut timbul
interprestasi sunnah terhadap beberapa pengertian fitrah, yaitu sbb:
Pengertian pertama dari fitrah menurut sunnah adalah fitrah dalam
artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza iy
bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia. Kesucian yang
dimaksud adalah sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: “Lima macam dalam
kategori kesucian, yaitu Berkhitan, memotong Rambut, mencukur kumis,
menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (H.R Bukhari-Muslim dari Abu
Hurairah r.a). kesucian yang dimaksud dalam konteks pendidikan Islam adalah, kesucian
manusia dari dosa waris, atau dosa asal, sebagaimana dikatakan oleh Isma’il
Raji al-Faruqi (1998:68) manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dan
dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli di lingkungan, masyarakat,
keluarga macam apa pun dia dilahirkan.[5]
Islam menyangkal setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa waris, dan tanggung
jawab penebusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional ataupun internasional.
Jadi, pengertian pertama fitrah menurut sunnah adalah kesucian (thuhr), yakni
kesucian manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt., sejak awal,
sehingga manusia tidak dibebani dosa warisan atau dosa asal sebagaimana
diyakini oleh kaum nasrani.
Pengertian fitrah kedua menurut al-sunnah adalah fitrah berarti
Islam (al-Din al-Islam). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abu
Hurairah r.a bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama, sebagaimana
Rasulullah Saw., “Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang
Allah menceritakan kepadaku dalam kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan
Anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam.” (H.R Iyad bin
Khimar dari Abu Hurairah Oleh karena itu, menurut hadits ini, anak kecil yang
meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan din al-Islam
walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.
Pengertian fitrah ketiga menurut al-Sunnah adalah fitrah berarti
murni (al-ikhlas). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari bahwa manusia
lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah kemurnian
(keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Pemaknaan ini didukung oleh
Hadits Rasulullah Saw: “Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu Ikhlas
berupa fitrah Allah di mana manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama,
dan taat berupa benteng perniagaan.” (H.R. Abu Hamid dari Mu’adz).
Pengertian fitrah yang lainnya menurut sunnah adalah berarti tabiat
alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: “Tidaklah
seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya
memalingkan padanya.” (H.R. Muslim dari Mu’awiyah).
Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian
fitrah tersebut ialah suci atau potensi, bahwa manusia lahir dengan membawa
perwatakan (tabiat) atau potensi yang berbeda-beda. Watak itu dapat berupa jiwa
pada anak atau hati sanubarinya yang dapat menghantarkan pada ma’rifat kepada
Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara
iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, ia dapat membedakan
antara iman dan kafir karena ujud fitrah adalah qalb (hati) dapat menghantarkan
pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apapun, sedangkan setan hanya
dapat membisikkan kesesatan sewaktu anak telah mencapai usia akil balig.
Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Atceh (1990:96), watak
manusia terbagi atas empat macam, yaitu:
a.
Manusia
bodoh, tidak dapat membedakan yang benar dan yang salah, antara yang indah dan
yang buruk. Manusia model ini mudah sekali diubah watak atau tabiatnya.[6]
b.
Manusia
yang mengetahui akan keburukan sesuatu yang buruk, tetapi tidak mau
melaksanakan suatu kebaikan bahkan kadangkala melakukan keburukan dengan
dorongan nafsunya. Watak manusia mode ini dapat diubah dengan melatih diri
untuk menghindari perbuatan yang buruk dan membiasakan diri untuk berbuat suatu
kebajikan.
c.
Manusia
yang telah mempunyai keyakinan bahwa buruk itu baik dan indah baginya. Manusia
model ini sulit diperbaiki, kalau pun dapat, hanya sebagian kecil saja.
d.
Manusia
yang berkeyakinan bahwa mengerjakan suatu kejahatan merupakan suatu kebanggaan
tersendiri. Manusia model ini hampir tidak dapat dididik dan diperbaiki
wataknya.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
fitrah dalam pandangan al-sunnah adalah ketentuan Allah (sunnatullah) yang
melekat pada pada diri manusia sebagai makhluknya.
D.
Fitrah Manusia
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa kata fithrah
artinya kejadian asal atau pola dasar. Dari makna ini lahir makna – makna lain,
yaitu penciptaan atau kejadian. Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula
atau bawaannya sejak lahir. Karena masih merupakan pola dasar (atau sifat –
sifat asli) maka fithrah itu akan baru memiliki arti bagi kehidupan
manusia setelah tumbuh dan dikembangkan secara optimal.
Menurut Zayadi fithrah manusia meliputi tiga dimensi yaitu ;
fithrah jasmani, fithrah rohani dan fithrah nafs. Fithrah jasmani
merupakan aspek bilologis yang dipersiapkan sebagai wadah dari Fithrah
Rohani. Ia memiliki arti bagi kehidupan manusia untuk mengembangkan proses
biologisnya. Daya ini disebut dengan daya hidup (al-hayat), kendati pun
sifatnya abstrak tetapi ia belum mampu menggerakan tingkah laku. Tingkah laku
baru terwujud jika fithrah jasmani ini telah ditempati fithrah rohani.
Proses ini terjadi pada manusia ketika berusia empat bulan dalam kandungan
(pada saat yang sama berkembang fithrah nafs). Oleh karena fithrah
jasmani inilah maka ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.
Firhrah Rohani, merupakan
aspek psikis manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah yang
sifatnya ghaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi dan esensi
manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam imateri, tetapi juga di alam materi
(setelah bergabung dengan jasmani), sehingga ia lebih dahulu dan lebih abadi
adanya daripada fithrah jasmani.
Fithrah nafs merupakan
aspek psiko-fisik manusia. Aspek ini merupakan paduan integral
(totalitas manusia) antara fithrah jasmani (biologis) dengan fithrah
rohani (psikologis), sehingga dinamakan psiko-fisik. Ia memiliki tiga komponen pokok, yaitu; qalbu, akal,
nafsu, yang saling berinteraksi dan mewujud dalam bentuk kepribadian.[7]
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar
kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau:
1.
Hakikat wujud manusia
a.
Manusia Mahluk Jasmani-Ruhani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik maupun
ruhaninya, karena ia adalah mahluk jasmani rohani.
v Segi fisik biologis
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah. Setelah berproses
menjadi bentuk manusia dalam Al-Quran disebut basyar, (Q.S.al-Hijr:28)
yakni mahluk fisik dan biologis. Sebagai mahluk biologis kejadiaanya hamper
sama dengan mahluk biologis lainnya terutama dengan jenis binatang mamalia,
yaitu dari nutfah, ‘alaqah kemudian mudhgah (embrio) dan
akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna
dari binatang. (Q.S. at-Tin:4 dan al-Mukminun : 13-14).
Kebaikan dan kesempurnaannya itu dapat ditinjau dari susunan organ
tubuh manusia, terutama susunan saraf otaknya (cerebrum) yang merupakan
organ terpenting karena memiliki fungsi adaptasi dan koordinasi dari semua
rangsangan yang diterima oleh panca indera. Dengan struktur demikian itu
manusia mampu mengembankan penalaran, kreaktifitas dan kerja produktif.
v Segi Ruhani
Setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk janin,
Allah meniupkan Ruh-Nya kepada manusia dan sejak itu ia benar – benar menjadi
mahluk jasmani, rohani yang mulia sehingga para malaikat pun diperintahkan oleh
Allah agar tunduk kepada Manusia.
Maka apabila aku telah menyempurnakan kehidupannya dan telah
meniupkan Ruh-Ku (ruh
ciptaan-Nya) maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud. (Q.S.
al-Hijr:29).
Para ulama ‘jumhur sepakat menafsirkan bahwa saat ditiupkan ruh
kepada manusia terjadilah getaran Ilahi. Dengan getaran Ilahi tersebut manusia
hidup sebagai mahluk jasmani rohani yang mulia melebih mahluk lainnya.[8]
Kelebihan manusia itu terutama karena memperoleh percikan sifat –
sifat kesempurnaan Ilahi yang kita kenal dengan “Asma’ul Husna” yang
jumlahnya 99 itu, (Q.S. al-A’raf:180), sehingga memungkinkan manusia hidup
dengan berbagai kemampuan dan kewenangan sesuai dengan “Asma’ul Husna” dalam
batas – batas kemahlukkannya. Dikaitkan dengan tujuan penciptaan, yang akan
dibicarakan dibagian lain, manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di bumi.
Karena itu percikan “Asma’ul Husna” itu merupakan modal dasar untuk
berperan sebagai wakil Allah dibumi. Sesuai denan kedudukannya sebagai wakil
Allah, kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat p[ercikan “Asma’ul
Husna” itu harus dipertanggung jawabkan kepada-Nya.
Akhirnya kemuliaan manusia itu dideklarasikan sendiri oleh Allah
firman-Nya: Sungguh kami telah memuliakan anak keturunan Adam. (Q.S.al-Isra
: 70). Tanda – tanda kemuliaan manusia itu tampak dalam tujuan penciptaannya
dan diberikannya sebagai sumber daya manusia yang merupakan kelengakapan
huidupnya.
b.
Manusia Mahluk yang Suci ketika lahir
Kesucian manusia biasanya dikaitkan dengan kata “fitrah”. Ditinjau
dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah
sebagaimana telah dijelaskan, ialah kejadian dasar atau pola dasar penciptaan.
Yang mendukung pola ini ialah: pertama: Ruh manusia berasal
dari Dzat yang Maha Suci (al-Quddus), karena itu manusia sejak lahir
sudah memiliki modal kesucian. (Q.S. as-sajadah:9 dan al-Hijr:29) kedua:
Anak yang lahir tidak membawa dosa turunan. Menurut konsepsi islam tidak ada
seorang pun yang memikuln dosa orang lain. (Q.S. al-Isra :15).
Disamping itu apabila dikaitkan dengan kekhalifahan, Nabi Adam
diturunkan ke bumi bukan dengan membawa dosa tetapi justru membawa hikmah besar
dalam rangka merealisasikan kekhalifahannya di bumi. Allah berfirman :
Kemudian Adam menerima perkataan dari tuhan-Nya lalu Ia memberi
taubat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Taubat dan Maha Pengasih. (Q.S. al-Baqarah:37)
c.
Manusia Mahluk Etis Religius
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci dikala lahir, Tuhan senantiasa
akan membimbingnya dengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Allah
berfirman :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah)
(tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.
Tidak ada perunbahan pada fitrah Allah itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S.
ar-Rum:30)
Pengertian fitrah Allah dalam ayat tersebut adalah ciptaan Allah.
Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama
tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama merupakan penyimpangan atas
fitrahnya. Yang membedakan pandangn manusia terhadap etika bukanlah perlunya
nilai – nilai etik atau tidak, tetapi mengenai batasan nilai atau ukuran baik
buruknya suatu perbuatan.[9]
Dari uraian diatas cukup jelas bahwa secara teologis manusia
memiliki naluri beragama dan secara empiric agama merupakan fenomena kehidupan
manusia. Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah mengapa manusia beragama, atau
mengapa manusia butuh agama. Hal ini penting diketahui untuk menyusun strategi
yang tepat dalam pelaksanaan pendidikan agama. Karena pertanyaan ini lebih
banyak menyangkut kejiwaan, maka untuk menjawabnya secara ilmiah ialah Ilmu
Jiwa Agama.
E.
Macam-Macam
Fitrah Manusia
Menurut
Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah),
yaitu :
1.
Daya intelektual
(quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat
membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui
dan meng-Esakan Tuhannya.
2.
Daya ofensif
(quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek
yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah
maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.
Daya defensif
(quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari
segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian , diantara ketiga
potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral
sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan
teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang
disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan
pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan
menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.[10]
Diantara
ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki
sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga pendapat Ibn
Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua
bentuk yaitu:
1.
Fitrat
al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia
lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat
dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2.
Fitrat al-munaazalat
merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah
yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang
sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin
tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas
manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami
keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia
akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
Dalam
gramatika bahasa Arab, sebagaimana dikatakan oleh Murtadha Muthari, kata fitrah
sewazan dengan kata fi’lah, yang artinya al-ibtidah, yaitu
menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi’lah dan fitrah adalah bentuk masdar
(infinitif) yang menunjukan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn
al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fihir artinya menciptakan, maka fitrah
berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab
Lafadzh fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya,
selain yang berkaitan dengan manusia.
2.
Menurut
Muhammad Fuad Abdul Baqi, dalam “Mu’jam
al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an, “dalam al-Qur’an kita dapat menemukan istilah
fitrah sebanyak 20 kali, kata-kata tersebut terdapat dalam 17 surat dan dalam
19 ayat.
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang fitrah
hanya satu ayat yang secara sarih menyebutkan kata fitrah, yakni surat Ar-Rum :
30. Allah Swt, berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
3.
Tidak
jauh berbeda dengan pengertian fitrah manusia menurut al-Qur’an, maka
pengertian fitrah menurut al-sunnah tidak lepas dari pemikiran terhadap
al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30. Dari ayat tersebut timbul interprestasi sunnah
terhadap beberapa pengertian fitrah, yaitu fitrah menurut sunnah adalah fitrah
dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza
iy bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia.
4.
Menurut
Zayadi fithrah manusia meliputi tiga dimensi yaitu ; fithrah jasmani,
fithrah rohani dan fithrah nafs.
5.
- Fitrah al-gharizat merupakan potensi dalam
diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain
nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
-
Fitrah
al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini
yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat
al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
DAFTAR PUSTAKA
Nizar Samsul,
Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001
Gunawan Heri, PENDIDIKAN
KARAKTER, Bandung: Alfabeta, 2014, cet. 3.
Achmadi, IDEOLOGI
PENDIDIKAN ISLAM, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2010, cet. 2.
Arifin M., Filsafat
Pendidikan Islam.
[1] Samsul Nizar ,
Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001,
h 78
[2] Heri
Gunawan, PENDIDIKAN KARAKTER, (Bandung: Alfabeta, 2014), cet. 3, h.
41-42
[3] Ibid,
h. 44
[4] Ibid,
h.45-48
[5] Ibid,
h. 49
[6] Ibid,
h. 50-51
[7] Ibid,
h. 52-53
[8]
Achmadi, IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2010),
cet. 2, h. 45-46
[9] Ibid,
h. 47-50