Senin, 02 Januari 2017

KONSEP FITRAH DALAM ALQURAN



Makalah

HAKIKAT FITRAH MANUSIA DALAM PANDANGAN ISLAM
( Diajukan Untuk Memenuhi Tugas pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam )


Dosen Pengampu : Firmansyah Kobandaha

Disusun oleh :Kelompok 10
RAHMAT S BUMULO
RESITA MAMONTO


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
2016

KATA PENGANTAR


Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan berlimpah nikmat berupa kesehatan jasmani maupun rohani kepada Kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sampai selesai. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi akhir zaman Muhammad SAW.
Kami menyadari tersusunnya makalah ini bukanlah semata-mata hasil jerih payah kami sendiri, melainkan berkat bantuan berbagai pihak. Untuk itu, Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu Kami dalam penyusunan makalah ini.
Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan menjadikan amal sholeh bagi semua pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyelesaian makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin Ya Rabbal’alamin.


Gorontalo, 09 Desember 2016

                                                                                                    Kelompok 10



Daftar Isi
KATA PENGANTAR......................................................................................................
DAFTAR ISI.....................................................................................................................
Bab 1 Pendahuluan...........................................................................................................
A.    Latar belakang.........................................................................................................
B.     Rumusan masalah....................................................................................................
Bab 2 Pembahasan............................................................................................................
A.    Hakikat Fitrah Manusia...........................................................................................
B.     Konsep fitrah dalam Al-Qur’an...............................................................................
C.     Konsep Fitrah dalam As-Sunnah.............................................................................
D.    Fitrah Manusia.........................................................................................................
E.     Macam-macam Fitrah..............................................................................................
Bab 3 Penutup...................................................................................................................
Kesimpulan..........................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah menciptakan manusia dalam keadaan fitrah dengan dibekali beberapa potensi yakni potensi yang ada dalam jasmani dan rohani. Bekal yang dimiliki manusia pun tidak hanya berupa asupan positif saja, karena dalarn diri manusia tercipta satu potensi yang diberi nama nafsu. Dan nafsu ini yang sering membawa manusia lupa dan ingkar dengan fitrahnya sebagai hamba dan khalifah Allah di bumi. Untuk itu manusia perlu mengembangkan potensi positif yang ada dalam dirinya untuk mencapai fitrah tersebut.
Manusia merupakan makhluk pilihan Allah yang mengembangkan tugas ganda, yaitu sebagai khalifäh Allah dan Abdullah (Abdi Allah). Untuk mengaktualisasikan kedua tugas tersebut, manusia dibekali dengan sejumlah potensi didalam dirinya. Potensi-potensi tersebut berupa ruh, nafs, akal, qalb, dan fitrah.[1]
Dalam pembahasan ini penulis akan berupaya mengupas dan menjelaskan beberapa hal yang berhubungan dengan hakikat fitrah dan potensi manusia menurut islam. Pertama penulis akan mencoba menjelaskan tentang manusia yang mencakup bagian-bagiannya, hakekat fitrah manusia, komponen dasar fitrah macam-macam fitrah, potensi manusia dan fitrah sebagai inner potensial
Semoga dengan adanya penjelasan tersebut kita menjadi paham tentang fitrah dan potensi manusia dalam pendidikan islam. Terutama bagi penulis sendiri dan orang yang membacanya agar menambah pemahaman dan hakekat fitrah dan potensi dasar manusia, berikut penjelasannya
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Hakikat fitrah manusia
2.      Bagaimana Konsep fitrah dalam Al-Qur’an
3.      Bagaimana Konsep Fitrah dalam As-Sunnah
4.      Apakah Fitrah manusia
5.      Macam – macam fitrah manusia




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Fitrah Manusia
Secara etimologis, kata fitrah berasal dari bahasa Arab, yaitu fithrah(فطرة)  jamaknya fithar ( فطر), yang suka diartikan perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Menurut M. Quraish Shihab (1996:283), istilah fitrah diambil dari akar kata al-fithr yang berarti belahan. Dari makna ini kemudian makna – makna lain, antara lain yaitu pencipta atau kejadian.
Dalam gramatika bahasa Arab, sebagaimana dikatakan oleh Murtadha Muthari, kata fitrah sewazan dengan kata fi’lah, yang artinya al-ibtidah, yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi’lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fihir artinya menciptakan, maka fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab Lafadzh fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya, selain yang berkaitan dengan manusia.
Dalam kamus al-munawwir, menyebutkan bahwa kata fitrah diartikan dengan naluri atau pembawaan. Kemudian Mahmud Yunus mengatakan, kata fitrah diartikan sebagai agama, ciptaan, perangai, kejadian asli. Selanjutnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Departemen Penddikan Nasional disebutkan kata fitrah diartikan dengan sifat asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.
Fitrah manusia berbeda dengan watak atau tabi’at, juga berbeda dengan naluri/garizah. Watak atau tabi’at adalah sifat dasar, seperti kalimat oksogen adalah mudah terbakar. Jadi watak adalah karakteristik yang terdiri daripada bentuk, dan materi (maddah). Inilah yang merupakan watak atau tabi’at suatu benda. Sedangkan naluri/garizah adalah sifat dasar. Sifat dasar ini bukan Muktasabah (bukan diperoleh). Misalnya anak kuda begitu lahir langsung bisa berdiri. Semut, meskipun kecil namun mampu mengumpulkan makanan. Inilah yang disebut dengan naluri atau garizah. Dalam naluri tidak terdapat kesadaran yang penuh. Untuk binatang fitrah ini disebut naluri. Fitrah sama dengan watak (tabi’at) dan naluri ini juga bukan diperoleh melalui usaha (al-muktasabah). Bukan pula karena khudhuri (perolehan). Istilah fitrah lazimnya untuk manusia, naluri lazimnya untuk hewan, dan watak lazimnnya untuk benda.[2]
Sedangkan dalam pengertian terminologi, terdapat beberapa pengertian fitrah yang dikemukakan oleh para ahli. Masing – masing pengertian yang dikemukakan memiliki sudut pandang yang berbeda – beda. Misalnya pengertian yang dikemukakan oleh Raghib al-Ashfahani dalam “Mu’jam al-Mufradat li al-fadz al-Quran,” fitrah adalah mewujudkan atau mengadakan sesuatu menurut kondisinya yang dipersiapkan untuk melakukan perbuatan tertentu. Pengertian yang dikemukakan oleh al-ashfahani ini masih bersifat umum, karena ia mengemukakan fitrah sebagai sesuatu, sedangkan sesuatu itu masih bersifat umum. Sesuatu itu bisa bermakna disposisi (al-isti’dad), karakter (al-thab’u), sifat (al-sifat), atau konstitusi (al-jibillat). Kemudian fitrah juga dikatakan dipersiapkan untuk melakukan perbuatan tertentu. Perbuatan ini juga masih bersifat umum, entah berupa berpikir, berbuat atau berperasaan, semuanya masih bersifat umum dan belum jelas. Oleh karenanya perlu dicarikan pengertian lain.
Ibn Mandzur (tt:288) memberikan defenisi bahwa fitrah adalah kondisi konstitusi dan karakter yang dipersiapkan untuk menerima agama. Dalam pengertian yang diungkapakan oleh Ibn Manndzur ini fitrah dianggap sebagai suatu kondisi, konstitusin dan watak manusia. Pengertian ini keliatannya membatasi pengertian pertama. Kosntitusi manusia memliki watak pisik dan psikis. Demikian juga dengan watak manusia memiliki kondisi baik dan buruk. Kondisi ini telah ada sejak kejadiannya manusia. Tujuan konstitusi dan watak manusia ini adalah agar manusia mampu menerima agama. Sedang agama yang sesuai dengan fitrah manusia adalah al-islam. Maka demikian setiap manusia yang dilahirkan memiliki potensi untuk menerima agama.
Dari beberapa defenisi yang dikemukakan diatas, baik etimologi, terminology, maupun nasabi, dapat ditarik kesimpulan bahwa fitrah adalah wujud organisasi dinamis, yang terdapat dalam diri manusia dan terdiri dari system psikopisik yang dapat menimbulkan tingkah laku. System tersebut memiliki citra yang unik (misalnya al-islam) yeang telah ada sejak awal penciptaannya. Rumusan tersebut memiliki tiga elemen pokok, yaitu :
1.      Fitrah merupakan suatu organisasi dinamis yang ada pada diri manusia. Dikatakan demikian karena dalam diri manusia terdiri atas system – system psikofisik yang dapat menimbulkan tingkah laku, baik lahir maupun batin. Diakatakan dinamis, Karena fitrah yang potensial dapat berkembang untuk mencapai kesempurnaan hidupnya.
2.      Fitrah memiliki suatu citra esensi manusia ini bersifat unik melebih mahluk – mahluk lain, seperti fitrah berislam, berbudaya, dan lain – lain.
3.      Fitrah manusia memiliki dasar, watak, sifat dan cara kerja yang khas, semuanya masih bersifat potensial yang diaktualisasikan menurut kondisi aslinya.
B.     Konsep Fitrah Dalam Al-Qur’an
Menurut Muhammad Fuad Abdul  Baqi, dalam “Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an, “dalam al-Qur’an kita dapat menemukan istilah fitrah sebanyak 20 kali, kata-kata tersebut terdapat dalam 17 surat dan dalam 19 ayat.[3]
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang fitrah hanya satu ayat yang secara sarih menyebutkan kata fitrah, yakni surat Ar-Rum : 30. Allah Swt, berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Al-Qurthubi ketika menafisrkan ayat tersebut mengatakan bahwa fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah disini adalah fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa. Sementara Ibnu Katsir mengartikan Fitrah dengan mengakui ke Esa-an Allah atau Tauhid. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa manusia sejak lahir telah membawa tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya, dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.
Fitrah juga dapat berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan berma’rifat kepada Allah Swt. Makna fitrah seperti ini kebanyakan diungkapkan oleh para filosof aliran empirisme memandang bahwa aktivitas fitrah sebagai tolok ukur pemaknaannya. Sedangkan para fuqaha memandang haliah manusia merupakan cermin dari jiwannya, sehingga hokum diterapkan menurut apa yang terlihat, bukan dari hakikat di balik perbuatan tersebut. Pada sisi lain, fitrah juga bisa berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya. Pendapat ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Abbas, Ka’ab bin Qurodi, Abu Sa’id al-Khudriy, dan Ahmad bin Hanbal. Mereka mengatakan bahwa manusia lahir dengan ketetapannya, apakah ia nanti menjadi orang yang bahagia ataukah menjadiorang yang sesat. Semua itu bergantung pada ketetapan yang diperoleh sejak manusia lahir. Ketetapan manusia selanjutnya disebut dengan fitrah, yang tidak dapat dipengaruhi oleh kondisi eksogen apa pun termasuk proses pendidikan. Apabila ketetapan asalnya baik, proses kehidupannya akan selalu baik walaupun pada awal perbuatannya sesat. demikian juga sebaliknya, apabila ketetapan asalnya sesat, ia akan menjadi orang yang sesat walaupun ia beraktivitas seperti orang baik (al-Qurthubi, tt: 5108).
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Zainuddin (1991:66) mengartikan bahwa fitrah merupakan dasar bagi manusia yang diperolehnya sejak lahir dengan memliki keistimewaan-keistimewaan sbb:[4]
1.      Beriman kepada Allah Swt;
2.      Kemampuan dan kesediaan untuk menerima kebaikan dan keturunan atau dasar kemampuan untuk menerima pendidikan dan pengajaran;
3.      Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berujud daya untuk berpikir
4.      Dorongan biologis yang berupa syahwat, nafsu, dan tabiat.
5.      Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.
Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa makna fitrah dalam pandangan para mufasir itu bermacam-macam. Namun, dari sekian banyak pendapat sebagimana tersebut di atas dapat di tarik kesimpulan, bahwa yang dimaksud dengan fitrah di sini adalah potensi untuk menjadi baik dan sekaligus potensi untuk menjadi muslim dan untuk menjadi musyrik. Potensi tersebut tidak diubah. Maksudnya, potensi untuk menjadi baik ataupun menjadi buruk tersebut tidak akan diubah oleh Allah. Fitrah manusia ini dibawa sejak lahir dan terus mengalami perkembangan seiring dengan semakin berkembangnya akal manusia dan pada akhirnya manusia akan mengakui bahwa Tuhan itu ada sehingga mereka akan kembali kepada Tuhannya.
Oleh karena itu, di sinilah betapa pentingnya mempertahankan fitrah dan sekaligus mengembangkannya bagi kehidupan manusia yang lebih baik. Berkembangnya fitrah dalam diri manusia sangat tergantung pada masukan dari wahyu yang mempengaruhi jiwa manusia. Dalam hal ini, baik buruknya fitrah manusia akan tergantung pada kemampuan manusia itu sendiri dalam berinteraksi dengan ajaran Islam.
C.    Konsep Fitrah dalam As-Sunnah
Tidak jauh berbeda dengan pengertian fitrah manusia menurut al-Qur’an, maka pengertian fitrah menurut al-sunnah tidak lepas dari pemikiran terhadap al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30. Dari ayat tersebut timbul interprestasi sunnah terhadap beberapa pengertian fitrah, yaitu sbb:
Pengertian pertama dari fitrah menurut sunnah adalah fitrah dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza iy bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia. Kesucian yang dimaksud adalah sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: “Lima macam dalam kategori kesucian, yaitu Berkhitan, memotong Rambut, mencukur kumis, menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak.” (H.R Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah r.a). kesucian yang dimaksud dalam konteks pendidikan Islam adalah, kesucian manusia dari dosa waris, atau dosa asal, sebagaimana dikatakan oleh Isma’il Raji al-Faruqi (1998:68) manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih, dan dapat menyusun drama kehidupannya, tak peduli di lingkungan, masyarakat, keluarga macam apa pun dia dilahirkan.[5] Islam menyangkal setiap gagasan mengenai dosa asal, dosa waris, dan tanggung jawab penebusan, serta keterlibatannya dalam kesukuan nasional ataupun internasional. Jadi, pengertian pertama fitrah menurut sunnah adalah kesucian (thuhr), yakni kesucian manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt., sejak awal, sehingga manusia tidak dibebani dosa warisan atau dosa asal sebagaimana diyakini oleh kaum nasrani.
Pengertian fitrah kedua menurut al-sunnah adalah fitrah berarti Islam (al-Din al-Islam). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Abu Hurairah r.a bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah agama, sebagaimana Rasulullah Saw., “Bukankah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan Anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang-orang Islam.” (H.R Iyad bin Khimar dari Abu Hurairah Oleh karena itu, menurut hadits ini, anak kecil yang meninggal dunia akan masuk surga, karena ia dilahirkan dengan din al-Islam walaupun ia terlahir dari keluarga non muslim.
Pengertian fitrah ketiga menurut al-Sunnah adalah fitrah berarti murni (al-ikhlas). Hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Thabari bahwa manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas. Pemaknaan ini didukung oleh Hadits Rasulullah Saw: “Tiga perkara yang menjadikan selamat, yaitu Ikhlas berupa fitrah Allah di mana manusia diciptakan darinya, shalat berupa agama, dan taat berupa benteng perniagaan.” (H.R. Abu Hamid dari Mu’adz).
Pengertian fitrah yang lainnya menurut sunnah adalah berarti tabiat alami yang dimiliki manusia. Hal ini sebagaimana Hadits Rasulullah Saw: “Tidaklah seorang anak dilahirkan kecuali tetap pada fitrahnya, sehingga lidahnya memalingkan padanya.” (H.R. Muslim dari Mu’awiyah).
Dari hadits tersebut di atas dapat diketahui bahwa pengertian fitrah tersebut ialah suci atau potensi, bahwa manusia lahir dengan membawa perwatakan (tabiat) atau potensi yang berbeda-beda. Watak itu dapat berupa jiwa pada anak atau hati sanubarinya yang dapat menghantarkan pada ma’rifat kepada Allah. Sebelum mencapai usia baligh, seorang anak belum bisa membedakan antara iman dan kafir. Akan tetapi, dengan potensi fitrahnya, ia dapat membedakan antara iman dan kafir karena ujud fitrah adalah qalb (hati) dapat menghantarkan pada pengenalan kebenaran tanpa terhalang oleh apapun, sedangkan setan hanya dapat membisikkan kesesatan sewaktu anak telah mencapai usia akil balig. Menurut al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar Atceh (1990:96), watak manusia terbagi atas empat macam, yaitu:
a.       Manusia bodoh, tidak dapat membedakan yang benar dan yang salah, antara yang indah dan yang buruk. Manusia model ini mudah sekali diubah watak atau tabiatnya.[6]
b.      Manusia yang mengetahui akan keburukan sesuatu yang buruk, tetapi tidak mau melaksanakan suatu kebaikan bahkan kadangkala melakukan keburukan dengan dorongan nafsunya. Watak manusia mode ini dapat diubah dengan melatih diri untuk menghindari perbuatan yang buruk dan membiasakan diri untuk berbuat suatu kebajikan.
c.       Manusia yang telah mempunyai keyakinan bahwa buruk itu baik dan indah baginya. Manusia model ini sulit diperbaiki, kalau pun dapat, hanya sebagian kecil saja.
d.      Manusia yang berkeyakinan bahwa mengerjakan suatu kejahatan merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Manusia model ini hampir tidak dapat dididik dan diperbaiki wataknya.
Berdasarkan pembahasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fitrah dalam pandangan al-sunnah adalah ketentuan Allah (sunnatullah) yang melekat pada pada diri manusia sebagai makhluknya.
D.    Fitrah Manusia
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa kata fithrah artinya kejadian asal atau pola dasar. Dari makna ini lahir makna – makna lain, yaitu penciptaan atau kejadian. Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak semula atau bawaannya sejak lahir. Karena masih merupakan pola dasar (atau sifat – sifat asli) maka fithrah itu akan baru memiliki arti bagi kehidupan manusia setelah tumbuh dan dikembangkan secara optimal.
Menurut Zayadi fithrah manusia meliputi tiga dimensi yaitu ; fithrah jasmani, fithrah rohani dan fithrah nafs. Fithrah jasmani merupakan aspek bilologis yang dipersiapkan sebagai wadah dari Fithrah Rohani. Ia memiliki arti bagi kehidupan manusia untuk mengembangkan proses biologisnya. Daya ini disebut dengan daya hidup (al-hayat), kendati pun sifatnya abstrak tetapi ia belum mampu menggerakan tingkah laku. Tingkah laku baru terwujud jika fithrah jasmani ini telah ditempati fithrah rohani. Proses ini terjadi pada manusia ketika berusia empat bulan dalam kandungan (pada saat yang sama berkembang fithrah nafs). Oleh karena fithrah jasmani inilah maka ia tidak mampu bereksistensi dengan sendirinya.
Firhrah Rohani, merupakan aspek psikis manusia. Aspek ini tercipta dari alam amar Allah yang sifatnya ghaib. Ia diciptakan untuk menjadi substansi dan esensi manusia. Eksistensinya tidak hanya di alam imateri, tetapi juga di alam materi (setelah bergabung dengan jasmani), sehingga ia lebih dahulu dan lebih abadi adanya daripada fithrah jasmani.
Fithrah nafs merupakan aspek psiko-fisik manusia. Aspek ini merupakan paduan integral (totalitas manusia) antara fithrah jasmani (biologis) dengan fithrah rohani (psikologis), sehingga dinamakan psiko-fisik. Ia memiliki  tiga komponen pokok, yaitu; qalbu, akal, nafsu, yang saling berinteraksi dan mewujud dalam bentuk kepribadian.[7]
Konsep fitrah manusia yang mengandung pengertian pola dasar kejadian manusia dapat dijelaskan dengan meninjau:
1.      Hakikat wujud manusia
a.      Manusia Mahluk Jasmani-Ruhani Yang Paling Mulia
Kemuliaan manusia dapat ditinjau baik dari segi fisik maupun ruhaninya, karena ia adalah mahluk jasmani rohani.
v  Segi fisik biologis
Jasad atau fisik manusia asal mulanya dari tanah. Setelah berproses menjadi bentuk manusia dalam Al-Quran disebut basyar, (Q.S.al-Hijr:28) yakni mahluk fisik dan biologis. Sebagai mahluk biologis kejadiaanya hamper sama dengan mahluk biologis lainnya terutama dengan jenis binatang mamalia, yaitu dari nutfah, ‘alaqah  kemudian mudhgah (embrio) dan akhirnya terbentuklah janin, yang strukturnya secara gradual lebih sempurna dari binatang. (Q.S. at-Tin:4 dan al-Mukminun : 13-14).
Kebaikan dan kesempurnaannya itu dapat ditinjau dari susunan organ tubuh manusia, terutama susunan saraf otaknya (cerebrum) yang merupakan organ terpenting karena memiliki fungsi adaptasi dan koordinasi dari semua rangsangan yang diterima oleh panca indera. Dengan struktur demikian itu manusia mampu mengembankan penalaran, kreaktifitas dan kerja produktif.
v  Segi Ruhani
Setelah pembentukan fisik mendekati sempurna dalam bentuk janin, Allah meniupkan Ruh-Nya kepada manusia dan sejak itu ia benar – benar menjadi mahluk jasmani, rohani yang mulia sehingga para malaikat pun diperintahkan oleh Allah agar tunduk kepada Manusia.
Maka apabila aku telah menyempurnakan kehidupannya dan telah meniupkan Ruh-Ku (ruh ciptaan-Nya) maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud. (Q.S. al-Hijr:29).
Para ulama ‘jumhur sepakat menafsirkan bahwa saat ditiupkan ruh kepada manusia terjadilah getaran Ilahi. Dengan getaran Ilahi tersebut manusia hidup sebagai mahluk jasmani rohani yang mulia melebih mahluk lainnya.[8]
Kelebihan manusia itu terutama karena memperoleh percikan sifat – sifat kesempurnaan Ilahi yang kita kenal dengan “Asma’ul Husna” yang jumlahnya 99 itu, (Q.S. al-A’raf:180), sehingga memungkinkan manusia hidup dengan berbagai kemampuan dan kewenangan sesuai dengan “Asma’ul Husna” dalam batas – batas kemahlukkannya. Dikaitkan dengan tujuan penciptaan, yang akan dibicarakan dibagian lain, manusia diciptakan sebagai wakil Tuhan di bumi. Karena itu percikan “Asma’ul Husna” itu merupakan modal dasar untuk berperan sebagai wakil Allah dibumi. Sesuai denan kedudukannya sebagai wakil Allah, kemampuan dan kewenangan yang diperoleh sebagai akibat p[ercikan “Asma’ul Husna” itu harus dipertanggung jawabkan kepada-Nya.
Akhirnya kemuliaan manusia itu dideklarasikan sendiri oleh Allah firman-Nya: Sungguh kami telah memuliakan anak keturunan Adam. (Q.S.al-Isra : 70). Tanda – tanda kemuliaan manusia itu tampak dalam tujuan penciptaannya dan diberikannya sebagai sumber daya manusia yang merupakan kelengakapan huidupnya.
b.      Manusia Mahluk yang Suci ketika lahir
Kesucian manusia biasanya dikaitkan dengan kata “fitrah”. Ditinjau dari segi bahasa hal ini sesungguhnya kurang tepat karena pengertian fitrah sebagaimana telah dijelaskan, ialah kejadian dasar atau pola dasar penciptaan.
Yang mendukung pola ini ialah: pertama: Ruh manusia berasal dari Dzat yang Maha Suci (al-Quddus), karena itu manusia sejak lahir sudah memiliki modal kesucian. (Q.S. as-sajadah:9 dan al-Hijr:29) kedua: Anak yang lahir tidak membawa dosa turunan. Menurut konsepsi islam tidak ada seorang pun yang memikuln dosa orang lain. (Q.S. al-Isra :15).
Disamping itu apabila dikaitkan dengan kekhalifahan, Nabi Adam diturunkan ke bumi bukan dengan membawa dosa tetapi justru membawa hikmah besar dalam rangka merealisasikan kekhalifahannya di bumi. Allah berfirman :
Kemudian Adam menerima perkataan dari tuhan-Nya lalu Ia memberi taubat kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi Taubat dan Maha Pengasih. (Q.S. al-Baqarah:37)
c.       Manusia Mahluk Etis Religius
Sebagai rangkaian wujudnya yang suci dikala lahir, Tuhan senantiasa akan membimbingnya dengan agama yang sesuai dengan fitrah manusia, Allah berfirman :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) (tetaplah) atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perunbahan pada fitrah Allah itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Q.S. ar-Rum:30)
Pengertian fitrah Allah dalam ayat tersebut adalah ciptaan Allah. Manusia diciptakan oleh Allah dengan diberi naluri beragama, yaitu agama tauhid. Karena itu manusia yang tidak beragama merupakan penyimpangan atas fitrahnya. Yang membedakan pandangn manusia terhadap etika bukanlah perlunya nilai – nilai etik atau tidak, tetapi mengenai batasan nilai atau ukuran baik buruknya suatu perbuatan.[9]
Dari uraian diatas cukup jelas bahwa secara teologis manusia memiliki naluri beragama dan secara empiric agama merupakan fenomena kehidupan manusia. Yang menjadi pertanyaan mendasar ialah mengapa manusia beragama, atau mengapa manusia butuh agama. Hal ini penting diketahui untuk menyusun strategi yang tepat dalam pelaksanaan pendidikan agama. Karena pertanyaan ini lebih banyak menyangkut kejiwaan, maka untuk menjawabnya secara ilmiah ialah Ilmu Jiwa Agama.
E.     Macam-Macam Fitrah Manusia
Menurut Ibnu Taimiyah, dalam diri manusia setidaknya terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu :
1.      Daya intelektual (quwwat al-‘aql), yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk. Dengan daya intelektualnya, manusia dapat mengetahui dan meng-Esakan Tuhannya.
2.      Daya ofensif (quwwat al-syahwat), yaitu potensi dasar yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.      Daya defensif (quwwat al-ghadhab) yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya. Namun demikian , diantara ketiga potensi tersebut, di samping agama – potensi akal menduduki posisi sentral sebagai alat kendali (kontrol) dua potensi lainnya. Dengan demikian, akan teraktualisasikannya seluruh potensi yang ada secara maksimal, sebagaimana yang disinyalir oleh Allah dalam kitab dan ajaran-ajaranNya. Penginkaran dan pemalsuan manusia akan posisi potensi yang dimilikinya itulah yang akan menyebabkannya melakukan perbuatan amoral.[10]
Diantara ketiga potensi tersebut, disamping potensi agama, potensi akal menduduki sentral sebagai alat kendali dua potensi lainnya. Ada juga pendapat Ibn Taimiyah yang dikutip Nurchalis Majdid yang membagi fitrah manusia kepada dua bentuk yaitu:
1.      Fitrat al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
2.      Fitrat al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.
Semakin tinggi tingkat interaksi antara keduanya maka akan semakin tinggi kualitas manusia (insan kamil). Akan tetapi sebaiknya, semakin rendah tidak mengalami keserasian, bahkan berebenturan antara satu dengan yang lainnya maka manusia akan semakin tergelincir dari fitrahnya yang hanif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.      Dalam gramatika bahasa Arab, sebagaimana dikatakan oleh Murtadha Muthari, kata fitrah sewazan dengan kata fi’lah, yang artinya al-ibtidah, yaitu menciptakan sesuatu tanpa contoh. Fi’lah dan fitrah adalah bentuk masdar (infinitif) yang menunjukan arti keadaan. Demikian pula menurut Ibn al-Qayyim dan Ibn Katsir, karena fihir artinya menciptakan, maka fitrah berarti keadaan yang dihasilkan dari penciptaan itu. Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, fitrah adalah awal mula penciptaan manusia. Sebab Lafadzh fitrah tidak pernah dikemukakan oleh al-Qur’an dalam konteksnya, selain yang berkaitan dengan manusia.
2.      Menurut Muhammad Fuad Abdul  Baqi, dalam “Mu’jam al-Mufahras li al-fadz al-Qur’an, “dalam al-Qur’an kita dapat menemukan istilah fitrah sebanyak 20 kali, kata-kata tersebut terdapat dalam 17 surat dan dalam 19 ayat.
Dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang fitrah hanya satu ayat yang secara sarih menyebutkan kata fitrah, yakni surat Ar-Rum : 30. Allah Swt, berfirman yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
3.      Tidak jauh berbeda dengan pengertian fitrah manusia menurut al-Qur’an, maka pengertian fitrah menurut al-sunnah tidak lepas dari pemikiran terhadap al-Qur’an surat ar-Rum ayat 30. Dari ayat tersebut timbul interprestasi sunnah terhadap beberapa pengertian fitrah, yaitu fitrah menurut sunnah adalah fitrah dalam artian suci. Fitrah dalam artian ini sebagaimana dikatakan oleh al-Auza iy bahwa fitrah adalah kesucian dalam jasmani dan rohani manusia.
4.      Menurut Zayadi fithrah manusia meliputi tiga dimensi yaitu ; fithrah jasmani, fithrah rohani dan fithrah nafs.
5.      -   Fitrah al-gharizat merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya semenjak ia lahir. Potensi tersebut antara lain nafsu, akal, hati nurani yang dapat dikembangkan melalui jalur pendididkan.
-          Fitrah al-munaazalat merupakan potensi luar manusia. Adapun wujud dari fitrah ini yaitu wahyu Allah yang diturunkan untuk membimbing dan mengarahkan fitrat al-gharizat berkembang sesuai dengan fitrahnya yang hanif.





DAFTAR PUSTAKA

Nizar Samsul, Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001
Gunawan Heri, PENDIDIKAN KARAKTER, Bandung: Alfabeta, 2014, cet. 3.
Achmadi, IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2010, cet. 2.
Arifin M., Filsafat Pendidikan Islam.



[1] Samsul Nizar , Pengantar Dasar-Dasar Pemikira Pendidikan Islam,Jakarta : Media Pratama, 2001, h 78
[2] Heri Gunawan, PENDIDIKAN KARAKTER, (Bandung: Alfabeta, 2014), cet. 3, h. 41-42
[3] Ibid, h. 44
[4] Ibid, h.45-48
[5] Ibid, h. 49
[6] Ibid, h. 50-51
[7] Ibid, h. 52-53
[8] Achmadi, IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2010), cet. 2, h. 45-46
[9] Ibid, h. 47-50
[10] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam,h 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar